Jumat, 05 September 2008

Siapakah Aku

SIAPAKAH AKU.


Ada hal yang pasti dalam hidupku yaitu saat kelahiranku dan saat kematianku. Dan lebih banyak lagi hal yang belum aku ketahui sepert kejadian sebelum kelahiranku, yang mungkin tidak akan pernah dapat kuingat, saat aku berada dalam rahim ibuku, dan saat sebelum itu. Lalu kejadian antara kelahiran dan kematianku, yang sedang kujalani saat ini. Setiap detiknya waktu selalu ditambahkan, tidak ada kesempatan mundur. Dan terakhir adalah kejadian sesudah kematianku, sesuatu yang belum aku jalani dan aku takuti.Kini, aku sedang menjalani kehidupan. Terjebak dalam lingkaran ruang dan waktu. Terjebak atau memang ini takdir yang harus aku jalani. Berlari, berjalan ,merangkak dan melakukan segala aktifitas di alam fana yang di sebut bumi dan hitungan dua puluh empat jam sehari, yang dibagi-bagi dalam beberapa segmen pekerjaan dan rutinitas yang harus kujalani. Sekarang sudah lebih dari 33 tahun perjalanan waktu yang telah kuhilangkan , dan entah berapa lama lagi masa yang akan dihadiahkan Tuhan untukku.
Bosan! Sebenarnya, apa yang sedang kujalani ini? Sesuatu yang absurd. Kesepian dan kegelisahan ada dimana-mana. Wajahku mencoba menyusuri dan mengamati setiap muka yang kutatap. Apa yang kucari di kehidupan ini,...? Kebahagiaan,...? Seperti apakah kebahagiaan itu,...?. Apa yang membuatku bahagia,...? Aku sekarang tengah mengisi separuh kisah kehidupanku didunia. Kemana lagi aku akan berlari,... ? sampai sekarang aku belum memperoleh sebuah jawaban pasti. Sampai kapan , aku akan berlari kesana kemari , melakukan hal yang sama berulang-ulang. Kembali aku bergulat dengan rutinitas sehari-hari. Hanya sedikit rasa tanggung jawab sebagai Kepala rumah tangga yang menahan ego dan menambah tenagaku untuk terus mengarungi kehidupan ini.
Ya, aku kini menjelma menjadi seorang pemimpin dalam rumah tangga. Tetapi sebagai apapun aku, tidak akan dapat menyembunyikan apa yang ada di dalam batinku, kegelisahanku dan pertanyaan-pertanyaanku. Malam ini, anak-anakku telah tidur semenjak sore. Terlihat garis garis kelelahan pada raut wajah istriku. Sejenak aku menatapnya. Ada sesuatu yang berubah dalam caraku memandangnya kini. Tidak seperti dulu, saat kami masih belum menikah. Saat itu, getaran selalu muncul saat aku memandangnya. Dan saat kami bersentuhan tanpa sengaja, panas dingin terasa. Tetapi kini, sentuhan dan pandangan telah menjadi hal yang biasa, bukan sesuatu yang menggetarkan lagi.
Tetapi, ada sesuatu yang baru. Cinta kami telah bermetamorfosa sedemikian hingga lebih rumit untuk dijelaskan, tetapi lebih sederhana. Anak-anak kami telah menyatukan kami, untuk lebih saling mengerti.
Anak-anak kami menjadi sarana bagi kami untuk berkaca dan memperbaiki diri. Anak-anak kami menjadi cermin tentang siapa kami. Melalui dia, aku memahami bagaimana menjalani kehidupan. Kesadaran tentang kesendirian di satu sisi, dan kenyataan tentang adanya Istri dan anak-anakku, membantuku untuk memahami perjalanan kehidupan ini. Aku terus berubah.
Musik tentang cinta, tidak lagi indah di telingaku. “Itu semua terasa hambar dan semakin sunyi!” kataku dalam hati. " Bukan, bukan musik yang mampu meluapkan kebahagiaanku".


Sepulang kerja tadi kucoba untuk sejenak melarikan diri dari kepenatan jiwa ini , sembari pulang kerja dengan motor kesayangan ini kususuri jalan dengan tanpa tujuan jelas. Di tengah pusat perbelanjaan aku berhenti sejenak. Setelah menyimpan motor di tempat parkir yang telah disediakan aku menyusuri pusat perbelanjaan ini. Orang-orang berlalu lalang seperti sekerumunan semut yang sedang mengangkut makanannya. Di mall, di jalan-jalan, di pertokoan, hilir mudik silih berganti seolah sengaja memamerkan banyaknya kekayaannya, uangnya, perhiasannya, bajunya, belanjaannya.
Sementara aku, dengan sejumlah uang di tangan. Mungkinkah meraih semua yang kuinginkan? “Tidak!” kataku dalam hati. “Disini aku dibatasi. Disini aku serba terbatas.

Bukan ini yang membuatku bahagia. Bukan begitu cara mendapatkan kebahagiaan , aku hanya sedikit keletihan.”Setelah sekian laman menjalani hari-hari rutinku. Apa yang kuperoleh dari rutinitas? Mengapa aku mau menjalaninya? Sampai kapan aku akan menjalaninya ? Apakah orang lainpun mempunyai pemikiran yang sama dengan ku ? Sekian lama mengarungi kehidupan ini belum juga mendapapatkan sesuatu yang diarasa istimewa ?“Tapi, aku terjebak di sini.
Haruskah aku berlari dan meninggalkan tanggung jawab ini ini, lalu berkelana mencari jawaban pertanyaanku? Atau aku kembali hidup menyendiri atau sejenak keluar dari kesibukan ini?
Tiba-tiba aku terperanjat. ... " Apa yang sedang aku lakukan? Siapakah sebenarnya aku? Darimanakah datangku? Kemanakah aku akan pergi? Ya. Aku disini, dengan kesibukanku. Semua orang akan melihatnya begitu. tetapi hati dan pikiranku, selalu berkelana untuk mencari sesuatu" .
“Tidakkah aku lelah. Pikiranku berkelana kemana-mana. Dan jasadku berjalan dalam rutinitasnya. Apa sebenarnya maksud dari semua ini?” .
Ya, aku lelah. Aku ingin berhenti sejenak dari pikiranku. Pernah aku mencoba menelusuri, saat-saat sebelum kelahiranku. Apakah aku dapat dibilang ada pada saat itu? Dimanakah aku pada saat itu? Dan kini, seberapa ada-kah aku? Dan jika aku telah mati, apa yang akan terjadi? Apakah aku masih ada? Ataukah benar-benar tiada, seperti debu yang tertiup angin. Kalau memang begitu, lebih baik aku tidak pernah ada. Tetapi aku ada, hari ini. Lorong tak berujung.
Pertanyaan sebelum, dan sesudah keberadaanku. Aku menyerah. Aku percaya pada Tuhan. Aku pasrah. Aku percaya pada Tuhan. Aku pasrah, tentang adanya rahasia. Aku pasrah, bahwa sebelum dan sesudah itu ada dalam genggaman rahasia. Tidak ada seorang manusiapun yang dapat menolongku, karena mereka semua sama seperti aku. Aku akan mengikuti jalan Tuhan. Dan demikianlah aku kini. Aku mencoba menjalani jalan yang sudah digariskan Tuhan. Itu terjadi sejak bertahun-tahun yang lalu , sudah lebih dari 6 tahun. Dan sejak itu pula, aku tidak lagi sendirian, memang aku mempunyai harapan. Dan harapan itu pula yang selalu diucapkan olehku kepada Tuhan.
Dan, sejak bertahun-tahun pula, aku mencoba untuk mulai berubah. “Aku sekarang sudah tidak sendiri lagi dalam berjalan di kehidupan ini. Tetapi kini, aku mempunyai bayangan . Dan bayangan itu adalah anak anakku sendiri. Dia yang selalu mengikuti dan mengiringi langkahku dengan do’a nya. Mengingatkanku dikala tergoda mimpi dengan senyuman khasnya, membuyarkan khayalanku dengan candanya ,”. “Aku mulai terkena sinaran cahaya, dan kesegaran ruhani menerobos nuraniku. Rasa tanggung jawabku mengusikku dan membangkitkan sedikit semangatku. Perlahan aku sudah mulai terjebak dan masuk ke dalam gerbang tuk menemui jawabannya walau masih samar.”
Memang, Istri dan anak-anakku adalah bayangan bayangan yang tiada pernah bosan mengiringi setiap langkah kakiku. Aku kini sudah mulai terbiasa dengan perasaan itu. Walau kadang ada kejenganhan dengan bayangan bayangan yang tiada bosan mengikutiku . Seperti tiada ruang yang tersedia untukku tuk berlari dan meninggalkan bayangan itu sedetik saja.
Betul dengan kehadiran bayangan itu , ruang sempit kesendirianku menjadi semakin luas, dan bahkan menjadi begitu luas. Setiap saat, bayangan itu muncul dan selalu muncul dalam diri orang-orang dan segala sesuatu yang kutemui. Aku menjadi seorang penyendiri yang tidak sendiri. Segala sesuatu memiliki makna. Dan sebuah makna makna yang sedikit sulit untuk kupahami, kadang aku merasa bangga , kadang merasa senang setiap kali mengakhiri rutinitasku dan kembali kerumahku aku mendapat hadiah senyuman dan pelukan hangat dari anak dan Istriku .
Aku merasa senang kepenatanku bekerja seharian hilang hanya dengan sebuah pelukan hanya setelah melihat anak anakku tersenyum dalam tidurnya , apakah ini yang disebut kebahagiaanku kini. Realitas tidak lagi sekedar realita. Realita bukanlah apa yang kulihat apa adanya. Realita sejati adalah apa yang harus bisa kulihat , kurasakan , kucerna dan kunikmati dalam kehidupanku dibalik realita. “Ya, orang bijak pernah berbicara dunia ini bagaikan mimpi.
Kini aku sedang bermimpi. Mimpi yang tampak sangat nyata. Mataku tidak hanya sepasang melainkan lebih.”
Dan, waktu terus berjalan. Waktuku mungkin tidak akan lama lagi. Aku tidak peduli. Yang kupedulikan adalah apa yang kujalani hari ini. Sudahkah kulakukan yang terbaik?
“Kita hanya hidup sekali.” Begitu yang sering kudengar dari mulut orang-orang.
“Kenapa kita tidak menikmati saja hidup ini? Mari kita bersenang-senang!” kata mereka kemudian.
“ Bersenang senang yang seperti apa?” kataku, “Seperti berkumpul dalam pesta, minum minuman sampai mabuk , sambil berjoget dan bernyanyi nyanyi… ? , Tertawa bersama sambil menikmati penderitaan atau kebodohan orang lain...? ”
“Ya, nikmatilah dunia,” jawab mereka lagi.
“ Tetapi, dimana letak kebahagiaannya? Aku tidak merasa bahagia dengan itu, ” teriakku, “ itu hanya melarikan diri hanya untuk sekedar mendapat perasaan lupa, lupa sejenak dengan penat dunia ke-esokannya menghampiri lagi,..... itu bukanlah sebuah kebahagiaan untukku.”
“Lalu, apa kebahagiaan itu menurutmu?” tanya mereka lagi.
“ Aku juga belum tahu apa itu kebahagiaan , yang aku tahu aku merasa senang dengan keadaanku saat ini, aku menikmati perjalanan kehidupaku ini. Aku begitu tenang saat aku dapat memandang wajah orang-orang yang aku kasihi. Dan sebelum, saat dan sesudahnya kau juga bisa melihat wajah pengasih itu , wajah wajah yang membuatmu sadar bahwa engkau sedang bermimpi, dan membuatmu bangun dari mimpimu dan wajah wajah yang membuatmu melihat masalah dunia laksana setitik debu yang tertiup angin, yang selalu mengingatkanmu dari kesalahan kesalahan , yang selalu mengiringi perjalan kehidupanmu dengan do’a dan pengharapan . Wajah wajah yang tiada pernah lelah memberikan senyuman yang menyegarkan dan menghapuskan kelelahanmu ” kataku.
“Ya, tetapi itu juga hanya sekejap,” kata mereka lagi.
“Ya memang. Tetapi sekali engkau mencicipi setetes madu, kau akan selalu mengenang manisnya tatkala mencicip jutaan tetes empedu. Kau tidak akan pernah lupa dan selalu merindukannya.”
Mereka terdiam dan pergi. Sejenak aku teringat sebuah nasihat dari orang bijak. Ditengah kegundahan hati, aku harus mampu memberikan senyuman yang termanis sekalipun untuk orang yang paling saya tidak sukai. Aku harus mampu memberikan senyuman yang termanis sekalipun orang itu orang yang selama ini membenciku.
Sesungguhnya kebencian dan kecintaan kita terhadap seseorang adalah satu ruang yang berbeda tempat. Bila Wajah kebencian juga wajah kecintaan. Wajah kecintaan juga wajah kebencian.
Aku harus ingat orang lain membenciku karena mereka sayang padaku, mereka tidak suka akan tingkah lakuku yang jelek sehingga mereka jadi benci, jadi, untuk apa aku membenci mereka karena sebenarnya mereka itu mencintaiku ,.. ?
Mungkin dengan Senyum. Itulah yang diajarkan Orang bijak tentang gambaran kebahagiaan kepadaku. Tersenyum selalu, membuat orang lain tersenyum itulah tanda bahwa aku bahagia. Orang senantiasa melihatku tersenyum. Aku senantiasa ingin tersenyum. Melihat semuanya dengan cinta dan kasih. Kenapa tidak saya berikan senyuman yang termanis yang anda miliki untuk semua orang. Orang yang saya cintai maupun yang orang yang anda benci, sebab senyuman itu akan melepaskan sekat-sekat kebencian dan kecintaan. Senyuman akan meluluhkan hati yang keras bagai batu. Senyuman juga yang menyelamatkan diri kita dari segala mara bahaya.
“ Tuhan itu maha pengasih ?Senyum itu ibadah, jadi bukan hal aneh jika aku selalu tersenyum. Aku hanya ingin mencontoh yang maha pengasih.”
Memang rasa duka senantiasa hinggap tatkala aku merasa tidak puas.
“Anak-anakku adalah beban,” ujarku dalam hatiku suatu kali, saat penat memuncak.
Tapi nuraniku berontak “Tidak, mereka adalah teman. Jadikan mereka temanmu. Teman bermain, teman menumpahkan pandangan saat layu. Teman untuk berbagi rasa.
Aku akui mungkin sering tersenyum untuk orang lain, dan entah kenapa senyumku yang termahal adalah untuk keluargaku. Memang aku masih tetap sering tersenyum buat anak anakku, tetapi senyumku pada anak-anakku saat mereka merajuk, itulah senyum kepasrahanku. Dan saat mereka membalas senyumanku, itulah saat aku merasa ada kebahagiaanku. Aku juga inginkan senyum mereka, yang tak lepas sampai aku tua renta.
Ah, waktu semakin menipis. Kisah sederhana ini mungkin akan segera berakhir. Mungkinkah aku bernegosiasi dengan sang waktu? Bagaimana sebuah kesederhanaan dan rutinitas ini mengantarkan aku pada kebahagiaan?
“Omong kosong!” kata mereka yang mendengarkan.
“Ya, mungkin menurut perkiraanmu, itu semua hanya omong kosong, karena engkau belum mengalami apa fase fase seperti apa yang telah aku alami, kalian masih dalam pengembaraan yang sendirian , belum mempunyai sepenggal kalimat tanggung jawab yang bernama ' keluarga ' ” kataku.
Aku harus membiarkan terjadi, apa yang seharusnya terjadi. Apakah Anak-anakku akan seperti Bima yang perkasa , tabah dalam penderitannya dan selalu menepati janjinya, atau menjadi Arjuna yang pongah dengan ketampanannya . Biarlah mereka seperti kupu kupu yang indah, mereka akan bermetamorfosis, melalui ulat, kepompong dan akan menjadi kupu-kupu. Karena akupun juga begitu , dari belajar duduk , merangkak , berdiri dan berlari , selalu ada saat datang dan ada saat pergi.Biarkanlah, apa yang seharusnya terjadi. Dan aku akan menjadi sesuai apa yang seharusnya terjadi dan kujalani di dalam dunia kehidupanku.
Dan timbulah pertanyaan baru siapa aku ini sebenarnya ,...?Kenapa aku merasa tidak ada sesuatupun yang lebih dekat denganku ,......? Istriku yang sekian lama menemaniku tidak selalu bisa mengenaliku,.. kebiasaanku apalagi apa apa yang ada dipikiranku.Ingin sekali aku memahami diriku sendiri,
Teringat nasehat dari sahabat “ jika kau tidak memahami dirimu, bagaimana kau bisa memahami orang lain?
Kau mungkin berpikir , “ aku pasti sudah memahami diriku sendiri ”.
Tetapi kau salah!…Satu-satunya yang ku ketahui tentang diriku hanyalah penampilan fisikku. Satu-satunya yang ku ketahui tentang ‘nafs’ku (jiwa) adalah ketika aku merasa lapar maka aku pergi mencari makanan , ketika aku marah , aku mencari pelampiasan dan membuat keributan, dan ketika aku termakan bara nafsu birahi aku mencari istriku dan mengajaknya bercinta.

Tapi bukankah semua binatang memiliki kesamaan dengan diriku dalam hal ini ...?Aku harus mencari kebenaran di dalam diriku… Siapa diriku? Darimana datangnya diriku dan akan kemana aku akan pergi? Apa perananmu bagi keluargaku di dunia ini ? Kenapa aku diciptakan? Dimana kebahagiaanku berada? Banyak orang berbicara , kebenaran akan eksistensimu ada di dalam jiwamu. Tubuhmu itu hanyalah pengabdi bagi jiwamu Jika kau ingin mengetahui tentang dirimu, kau harus mengetahui bahwa di dalam tubuhmu ada Nafsu, Qolbu dan Akal . Jiwamu adalah bagian yang tidak bisa kau lihat tetapi bisa kau ketahui dengan pengetahuanmu yang dalam. Jiwa kita akan bagus jika antara nafsu , qolbu dan Akal seimbang. Keseimbangan jiwa karena sedikit dosa, keseimbangan tubuh karena sedikit makan.Aku semakin bingung dan terjebak dalam angan . Aku tak mau berlari lagi. Aku hanya tahu waktu berakhirku akan tiba tanpa disangka-sangka. Dan aku tidak akan dapat bersembunyi. Biarlah aku tetap berlari dalam pencarianku . Biarlah kuteruskan cerita pencarianku tentang diri ini sebagai kisah seorang penyendiri di saat sesudah kisahku berakhir di dunia ini.




Tunjung tanpa selaga .......
Siapa diri ini dan apa yang sedang dicari ....
Diri ini hanyalah insan tak berguna ....
Tunjung tanpa selaga ......
Itu hanya sebuah nama untuk mengetahui siapa diri ini ...
diri ini hanyalah berusaha untuk bisa bermanfaat bagi orang lain ...
Tunjung tanpa selaga ..... semoga menjadi jati diri ,...
dalam perjalanan kehidupan ini pelita hati tidaklah boleh mati ...
pendakian Haramil qudsiyah haruslah tidak boleh terhenti ....
Dimana kawanku yang akan memberikan tongkat disaat sudah tidak sanggup berdiri ...
Andikakah yang akan membimbing diri ini dalam pendakian haramil Qudsiyah sejati .

Tunjung tanpa selaga, August 2008

Tidak ada komentar: