Jumat, 05 September 2008

Pembimbing Spiritual

Pembimbing Spiritual’
Oleh Herry Mardian,

MARI sedikit merenung.
Umumnya dari kita mencari jalan menuju Tuhan dengan membawa kriteria kita sendiri. Seorang mursyid haruslah berwajah cerah, berseri, tampak simpatik, dan sebagainya. Kita membawa waham kita sendiri dalam mencari pembimbing. Mungkin penampilannya berjubah dan berjanggut, atau apapun lah, yang biasa kita asosiasikan dengan penampilan seorang ’soleh’.
Sahabat, jika sekarang, misalkan di pasar dekat rumah kita, ada seorang yang penuh penyakit kulit. Penampilannya menjijikkan. Kemana-mana dirubungi lalat dan belatung. Ia tinggal di gubuk sebagai seorang gelandangan. Jika ia mengatakan bahwa ia membawa risalah Allah, maukah kita mengikutinya? Mungkin tidak, karena penampilannya sangat jauh dari ’soleh’.
Jika tetangga kita sekarang, di RT sebelah misalkan, seorang yang dikucilkan oleh masyarakat. Di atap rumahnya membangun perahu, dan setiap hari kerjanya berteriak-teriak bahwa 6 bulan lagi akan banjir. Setiap hari ia menjadi bahan ejekan masyarakat dan tetangga anda. Akankah kita mengikutinya? Atau ikut menertawakan?
Jika di negara kita ada seorang panglima berusia 20-an tahun, yang mengatakan bahwa dia membawa perintah Tuhan untuk menyebarkan risalahnya, sementara dia senantiasa memimpin pasukannya ke negara tetangga dengan membantai, menyiksa, atau mengampuni dan memaafkan, benar-benar sesuka hatinya. Akankah kita mengikutinya?
Seorang tua yang hidup di tepian padang gersang, menggembala kambing-kambingnya. Setiap hari hanyalah beternak, dan menimba sumur untuk ternaknya. Hidup di gubuk, jauh dari kota. Miskin, tua renta. Tidak punya apapun yang bisa ditawarkan. Jika ia mengatakan bahwa ia bisa membimbing anda menuju Allah, apakah anda mau menjadi muridnya?
Seorang anak muda pendiam, bergaul seperlunya saja, tidak suka ‘kumpul-kumpul’. Kerjanya merenung. Alim, tapi pendiam. Sering pergi memencilkan diri ke pinggir kota. Anak muda itu secara sensasional tiba-tiba menikahi janda tua yang sangat cantik dan kaya, dan ia pun mendadak menjadi kaya raya pula karenanya. Lalu ia mengatakan bahwa ia telah bertemu malaikat, dan mengatakan bahwa anda harus mengikutinya agar selamat. Ikutkah anda?
Seorang berpenampilan gelandangan, pakaiannya lusuh dan kotor. Pekerjaannya tak jelas. Sering terlihat di pasar. Hanya kadang ia membantu membersihkan mesjid supaya boleh tidur di dalamnya. Maukah anda mengangkatnya sebagai pembimbing spiritual?
Seorang muda tampan, berpenampilan soleh, bersih dan alim, sangat ukhrawi, miskinnya luar biasa, hartanya hanya cangkir dan pakaian yang melekat di tubuhnya. Tapi ia amat sangat dekat dengan seorang pelacur dan selalu membelanya mati-matian dari cemoohan masyarakat. Percayakah anda padanya, jika dia mengatakan bahwa ia adalah seorang nabi?
*******
Tahukah anda, bahwa kakek berpenyakit kulit, bau dan penuh belatung yang hidup di pinggir pasar tadi seperti Nabi Ayyub as pada zamannya? Tetangga yang membangun perahu di atap rumahnya, ditertawakan dan dibodoh-bodohi masyarakat, posisinya adalah seperti Nuh as pada zamannya dahulu.
Panglima 20-an tahun yang sesuka hatinya membantai atau menyiksa, juga mengampuni dan memaafkan, adalah Iskandar Zulqarnayn, seorang yang menyebarkan kebenaran di sepanjang asia, timur tengah hingga eropa. Ia dibebaskan Allah untuk menyiksa ataupun mengampuni sesukanya, sebagaimana diabadikan dalam QS 18:86,
“..Hai Dzulqarnayn, kamu boleh menyiksa atau boleh berbuat kebaikan terhadap mereka.”
Orang tua miskin di gurun adalah Syu’aib as, mursyid dari salah satu nabi terbesar, Musa as, nabi agama Yahudi, Nasrani, dan Islam. Anak muda antisosial, yang pendiam dan kaya mendadak karena menikahi janda tua yang kaya kemudian mengaku bertemu malaikat, adalah Rasulullah SAW, mursyid agung tertinggi yang pernah ada. Gelandangan bau dan kotor, yang hanya membawa-bawa seruling dan ‘nongkrong’ di pasar, adalah Shamsuddin Tabriz, mursyid dari wali besar Jalaluddin Rumi. Anak muda soleh dan tampan, sangat ukhrawi yang dekat dengan seorang pelacur adalah Nabi Isa as, dan pelacur itu adalah Maria Magdalena.
Coba posisikan diri kita sebagai masyarakat yang ada pada zaman mereka. Mampukah kita melihat kebenaran yang mereka bawa? Percayakah kita, jika kita hidup di zaman itu, bahwa mereka adalah para kekasih Allah, yang bisa menunjukkan pada kita ruas jalan taubat? Akankah kita mengikuti mereka?
Siapakah kita, yang berani menentukan kriteria kekasih Allah? Dia berhak menyukai siapa saja, sesuka-Nya. Mengatur para kekasihNya berpenampilan seperti kehendakNya. Kenapa kita berani mengatur, apalagi dengan standar yang kita buat sendiri, bahwa seorang kekasih Allah pastilah berseri-seri, ramah, selalu tersenyum? Berjubah, atau berjanggut? Pasti hidupnya berhasil secara duniawi maupun ukhrawi? Alangkah sombongnya kita.
Kita sendirilah yang menciptakan penghalang, filter yang kita ‘bikin-bikin’, sehingga justru menutup kita dari jalan kebenaran. Kita menciptakan ‘waham kesolehan’ sendiri. Waham, ilusi, yang justru dapat menjauhkan kita dari gerbang-Nya. Kita telah tertipu oleh ’standar jaminan mutu kesolehan’ yang dibangun dunia ini.
Belum tentu seorang yang mampu menuntun kita menuju Allah, sesuai dengan kriteria yang kita buat sendiri. Belum tentu. Memang ada para kekasihnya yang berpenampilan seperti yang kita golongkan sebagai ‘yang baik-baik’, tapi ada pula yang sama sekali tidak demikian. Mereka disamarkan-Nya (tasyrif) karena dilindungi Allah. Dilindungi dari para peminta berkah, dari orang-orang yang sedikit sedikit meminta tolong dan bantuan, minta dagangannya laku, minta didoakan supaya dapat jodoh, minta sakitnya disembuhkan, diobati saudaranya yang kesurupan, konsultasi posisi politik, dan segala permintaan tetek bengek lain yang sifatnya ‘menghilangkan derita’ saja, bukan minta dibimbing menuju Allah. Bukan minta diajarkan bertaubat.
Jika semua dibuka dengan mudahnya, bayangkan berapa orang yang datang mengantri setiap saat dengan tujuan tak jelas? Tanpa biaya pula.
Allah pun, dari 99 namanya, terbagi menjadi dua jenis. Yang ‘Jamal’, yang ‘ramah’, yang indah, yang enak kedengarannya. Contohnya adalah Maha Penyayang, Maha pengampun, Maha sabar, dan semacamnya. Tapi Dia juga memiliki nama-nama yang ‘jalal’, yang ‘agung’, yang keras, yang ‘menyeramkan’ dalam sudut pandang kita, seperti Maha Pedih Siksanya, Yang Maha Membalas, Yang Maha Keras, Yang Maha Mengalahkan, Yang Maha Menghinakan, Yang Maha Memaksa, dan sebagainya.
Setiap makhluk membawa potensi kombinasi dari 99 nama-namaNya, termasuk pula para kekasih-Nya. Mengapa kita melabelkan pada diri kita sendiri bahwa ‘Kekasih Allah pastilah ramah, enak, baik, wangi, bersih, bla-bla-bla?’ Ada yang demikian, ada pula yang tidak.
Perhatikan Qur’an 25:20,
“Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh-sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar.”
Seharusnya ini cukup.
Sedangkan manusia terkadang sombong, merasa perlu malaikat atau mu’jizat untuk meyakinkan dirinya. Mereka menolak rasul yang ‘wajar’. Inginnya yang ‘malaikati’ atau ‘mukjizati’. Padahal jika dia tidak mengikuti pun, kemuliaan Allah sama sekali tidak akan berkurang. Allah tidak rugi apapun.
Pada QS 25:7,
“Dan mereka berkata, ‘Mengapa Rasul ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar? Mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang malaikat agar malaikat itu memberikan peringatan bersama-sama dengan dia?”
Pada hadits Muslim 1972 (8: 154):
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah SAW bersabda, “Banyak sekali orang yang kelihatannya compang-camping (hina di mata masyarakat), tidak diperkenankan memasuki pintu seseorang, tetapi kalau dia berdoa kepada Allah, niscaya Allah akan mengabulkan doanya.” (H. R. Muslim)
*******
Ciri utama dari seorang yang harus anda ikuti bukanlah senyumnya, wajahnya yang bersih, dan sebagainya. Mantan presiden kita yang dulu pun wajahnya bersih dan penuh senyum. Fir’aun pun sangat gagah dan tampan. Iblis pun, apakah akan datang ke kita selalu bertanduk, berpakaian api, membawa tombak trisula dan berekor panah? Dia tidak sebodoh itu. Jika penampilannya monoton dan tidak kreatif seperti itu, tentu saja kita akan dengan sangat mudah mengetahui bahwa dia adalah iblis, dan tidak untuk diikuti.
Syarat dan ciri utama seorang yang harus diikuti sudah dicantumkan dalam Qur’an, yaitu Q.S. 36:21,
“Dan ikutilah orang-orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah ‘muhtaduun’ “
Apakah ‘Muhtaduun’? Muhtadun, asal katanya dari tsummahtada, yang berarti ‘telah tetap menapak di atas petunjuk (dari Allah)’. Al-Muhtaduun adalah mereka yang sudah ditetapkan-Nya melangkah hanya di atas petunjuk-Nya saja.
Jadi, ciri pertama adalah, tidak pernah minta balasan apapun, baik pertolongan, status sosial, kerjasama manajemen, saling membantu, dan lain-lain. Dia yang bisa membantu kita, dan kita tidak bisa membantunya sama sekali. Dia sudah tidak membutuhkan apapun.
Yang kedua, orang itu sudah ‘tetap di atas petunjuk’. Dia membimbing anda murni seratus persen berdasarkan petunjuk Allah yang datang ke qalbnya, bukan berdasarkan pendapat, teori pendidikan, EQ, IQ, Acceleration Learning, kebiasaan umum, budaya, dan lain sebagainya.
Dengan demikian, coret juga orang yang belum mampu mendapat petunjuk Allah setiap saat di dalam qalb-nya.
Beberapa rambu Al-Qur’an yang perlu kita cermati juga:
“Kami tidak mengutus seorang Rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. (QS. 14:4)”
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap ummat (untuk menyerukan): Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thaghut. (QS. 16:36)”
Perhatikanlah, bahwa pada dasarnya tiap-tiap ummat ada Rasulnya (penyampai risalah, pengajak menuju Allah). Dan, dengan bahasa kaumnya pula.
*******

Berhentilah Jadi Gelas



Seorang guru sufi mendatangi seorang muridnya ketika wajahnya belakangan ini selalu tampak murung.
“Kenapa kau selalu murung, nak? Bukankah banyak hal yang indah di dunia ini? Ke mana perginya wajah bersyukurmu?” sang Guru bertanya.
“Guru, belakangan ini hidup saya penuh masalah. Sulit bagi saya untuk tersenyum. Masalah datang seperti tak ada habis-habisnya,” jawab sang murid muda.
Sang Guru terkekeh. “Nak, ambil segelas air dan dua genggam garam. Bawalah kemari. Biar kuperbaiki suasana hatimu itu.”
Si murid pun beranjak pelan tanpa semangat. Ia laksanakan permintaan gurunya itu, lalu kembali lagi membawa gelas dan garam sebagaimana yang diminta.“Coba ambil segenggam garam, dan masukkan ke segelas air itu,” kata Sang Guru. “Setelah itu coba kau minum airnya sedikit.”
Si murid pun melakukannya. Wajahnya kini meringis karena meminum air asin.
“Bagaimana rasanya?” tanya Sang Guru.
“Asin, dan perutku jadi mual,” jawab si murid dengan wajah yang masih meringis.
Sang Guru terkekeh-kekeh melihat wajah muridnya yang meringis keasinan.
“Sekarang kau ikut aku.” Sang Guru membawa muridnya ke danau di dekat tempat mereka. “Ambil garam yang tersisa, dan tebarkan ke danau.”
Si murid menebarkan segenggam garam yang tersisa ke danau, tanpa bicara. Rasa asin di mulutnya belum hilang. Ia ingin meludahkan rasa asin dari mulutnya, tapi tak dilakukannya. Rasanya tak sopan meludah di hadapan mursyid, begitu pikirnya.
“Sekarang, coba kau minum air danau itu,” kata Sang Guru sambil mencari batu yang cukup datar untuk didudukinya, tepat di pinggir danau.
Si murid menangkupkan kedua tangannya, mengambil air danau, dan membawanya ke mulutnya lalu meneguknya. Ketika air danau yang dingin dan segar mengalir di tenggorokannya, Sang Guru bertanya kepadanya, “Bagaimana rasanya?”
“Segar, segar sekali,” kata si murid sambil mengelap bibirnya dengan punggung tangannya. Tentu saja, danau ini berasal dari aliran sumber air di atas sana. Dan airnya mengalir menjadi sungai kecil di bawah. Dan sudah pasti, air danau ini juga menghilangkan rasa asin yang tersisa di mulutnya.
“Terasakah rasa garam yang kau tebarkan tadi?”
“Tidak sama sekali,” kata si murid sambil mengambil air dan meminumnya lagi. Sang Guru hanya tersenyum memperhatikannya, membiarkan muridnya itu meminum air danau sampai puas.
“Nak,” kata Sang Guru setelah muridnya selesai minum. “Segala masalah dalam hidup itu seperti segenggam garam. Tidak kurang, tidak lebih. Hanya segenggam garam. Banyaknya masalah dan penderitaan yang harus kau alami sepanjang kehidupanmu itu sudah dikadar oleh Allah, sesuai untuk dirimu. Jumlahnya tetap, segitu-segitu saja, tidak berkurang dan tidak bertambah. Setiap manusia yang lahir ke dunia ini pun demikian. Tidak ada satu pun manusia, walaupun dia seorang Nabi, yang bebas dari penderitaan dan masalah.”
Si murid terdiam, mendengarkan.
“Tapi Nak, rasa ‘asin’ dari penderitaan yang dialami itu sangat tergantung dari besarnya qalbu yang menampungnya. Jadi Nak, supaya tidak merasa menderita, berhentilah jadi gelas. Jadikan qalbu dalam dadamu itu jadi sebesar danau.”


: : : : : : :


“Berkata (Musa), “Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku,” (25)“Dan mudahkanlah untukku urusanku.” (26).[Q.S. 20 : 25 - 26]
“Tidaklah Allah membebani seseorang kecuali sesuai dengan kesanggupannya.” [Q.S. 2 : 286]

Rindu Kidung

Keheningan malam begitu penuh pesona ..
Membuat hati terpaku dalam sunyi ....
Qolbu terdiam dan pilu mengingat kebersihan nurani ...
Yang terasa hanya tusukan sembilu ...
Terbayang kembali goeresan luka nurani takkala nafsu merajai diri ....

Angin mendesau menghiba ,.... menangis .... tanpa suara ...
Dia telah lelah berlari menghampiri diriku yang membutuhkannya ....
Tiada semangat tuk meneruskan penghambaannya ....
Kesegaran yang di berikan ke padaku tidak juga ada artinya ...

Dia hanya bisa berbisik lirih dan parau ....
Bukan berharap imbalan ,...
bukan ucapan terimakasih yang diinginkan ...
Dia hanya ingin mendengar tahmid ,.. tasbih ... takbir bergema ...
Dia hanya ingin yanyian yang terindah itu menyapanya takkala menghampirinya ...
Mengiringi kemana dia pergi dan berada ....

Akankah kau nyanyikan itu saudaraku...
Akankah kudengar kidung itu bergema indah di telingaku ....
Bumi bersujud ,.... laut tertunduk ... langit menangis ..
Semoga kidung itu tak hilang tertelan desau gerimis .....

Rindu Kidung
Tunjung Tanpa selaga, Agustus 22 , 2008

Siapakah Aku

SIAPAKAH AKU.


Ada hal yang pasti dalam hidupku yaitu saat kelahiranku dan saat kematianku. Dan lebih banyak lagi hal yang belum aku ketahui sepert kejadian sebelum kelahiranku, yang mungkin tidak akan pernah dapat kuingat, saat aku berada dalam rahim ibuku, dan saat sebelum itu. Lalu kejadian antara kelahiran dan kematianku, yang sedang kujalani saat ini. Setiap detiknya waktu selalu ditambahkan, tidak ada kesempatan mundur. Dan terakhir adalah kejadian sesudah kematianku, sesuatu yang belum aku jalani dan aku takuti.Kini, aku sedang menjalani kehidupan. Terjebak dalam lingkaran ruang dan waktu. Terjebak atau memang ini takdir yang harus aku jalani. Berlari, berjalan ,merangkak dan melakukan segala aktifitas di alam fana yang di sebut bumi dan hitungan dua puluh empat jam sehari, yang dibagi-bagi dalam beberapa segmen pekerjaan dan rutinitas yang harus kujalani. Sekarang sudah lebih dari 33 tahun perjalanan waktu yang telah kuhilangkan , dan entah berapa lama lagi masa yang akan dihadiahkan Tuhan untukku.
Bosan! Sebenarnya, apa yang sedang kujalani ini? Sesuatu yang absurd. Kesepian dan kegelisahan ada dimana-mana. Wajahku mencoba menyusuri dan mengamati setiap muka yang kutatap. Apa yang kucari di kehidupan ini,...? Kebahagiaan,...? Seperti apakah kebahagiaan itu,...?. Apa yang membuatku bahagia,...? Aku sekarang tengah mengisi separuh kisah kehidupanku didunia. Kemana lagi aku akan berlari,... ? sampai sekarang aku belum memperoleh sebuah jawaban pasti. Sampai kapan , aku akan berlari kesana kemari , melakukan hal yang sama berulang-ulang. Kembali aku bergulat dengan rutinitas sehari-hari. Hanya sedikit rasa tanggung jawab sebagai Kepala rumah tangga yang menahan ego dan menambah tenagaku untuk terus mengarungi kehidupan ini.
Ya, aku kini menjelma menjadi seorang pemimpin dalam rumah tangga. Tetapi sebagai apapun aku, tidak akan dapat menyembunyikan apa yang ada di dalam batinku, kegelisahanku dan pertanyaan-pertanyaanku. Malam ini, anak-anakku telah tidur semenjak sore. Terlihat garis garis kelelahan pada raut wajah istriku. Sejenak aku menatapnya. Ada sesuatu yang berubah dalam caraku memandangnya kini. Tidak seperti dulu, saat kami masih belum menikah. Saat itu, getaran selalu muncul saat aku memandangnya. Dan saat kami bersentuhan tanpa sengaja, panas dingin terasa. Tetapi kini, sentuhan dan pandangan telah menjadi hal yang biasa, bukan sesuatu yang menggetarkan lagi.
Tetapi, ada sesuatu yang baru. Cinta kami telah bermetamorfosa sedemikian hingga lebih rumit untuk dijelaskan, tetapi lebih sederhana. Anak-anak kami telah menyatukan kami, untuk lebih saling mengerti.
Anak-anak kami menjadi sarana bagi kami untuk berkaca dan memperbaiki diri. Anak-anak kami menjadi cermin tentang siapa kami. Melalui dia, aku memahami bagaimana menjalani kehidupan. Kesadaran tentang kesendirian di satu sisi, dan kenyataan tentang adanya Istri dan anak-anakku, membantuku untuk memahami perjalanan kehidupan ini. Aku terus berubah.
Musik tentang cinta, tidak lagi indah di telingaku. “Itu semua terasa hambar dan semakin sunyi!” kataku dalam hati. " Bukan, bukan musik yang mampu meluapkan kebahagiaanku".


Sepulang kerja tadi kucoba untuk sejenak melarikan diri dari kepenatan jiwa ini , sembari pulang kerja dengan motor kesayangan ini kususuri jalan dengan tanpa tujuan jelas. Di tengah pusat perbelanjaan aku berhenti sejenak. Setelah menyimpan motor di tempat parkir yang telah disediakan aku menyusuri pusat perbelanjaan ini. Orang-orang berlalu lalang seperti sekerumunan semut yang sedang mengangkut makanannya. Di mall, di jalan-jalan, di pertokoan, hilir mudik silih berganti seolah sengaja memamerkan banyaknya kekayaannya, uangnya, perhiasannya, bajunya, belanjaannya.
Sementara aku, dengan sejumlah uang di tangan. Mungkinkah meraih semua yang kuinginkan? “Tidak!” kataku dalam hati. “Disini aku dibatasi. Disini aku serba terbatas.

Bukan ini yang membuatku bahagia. Bukan begitu cara mendapatkan kebahagiaan , aku hanya sedikit keletihan.”Setelah sekian laman menjalani hari-hari rutinku. Apa yang kuperoleh dari rutinitas? Mengapa aku mau menjalaninya? Sampai kapan aku akan menjalaninya ? Apakah orang lainpun mempunyai pemikiran yang sama dengan ku ? Sekian lama mengarungi kehidupan ini belum juga mendapapatkan sesuatu yang diarasa istimewa ?“Tapi, aku terjebak di sini.
Haruskah aku berlari dan meninggalkan tanggung jawab ini ini, lalu berkelana mencari jawaban pertanyaanku? Atau aku kembali hidup menyendiri atau sejenak keluar dari kesibukan ini?
Tiba-tiba aku terperanjat. ... " Apa yang sedang aku lakukan? Siapakah sebenarnya aku? Darimanakah datangku? Kemanakah aku akan pergi? Ya. Aku disini, dengan kesibukanku. Semua orang akan melihatnya begitu. tetapi hati dan pikiranku, selalu berkelana untuk mencari sesuatu" .
“Tidakkah aku lelah. Pikiranku berkelana kemana-mana. Dan jasadku berjalan dalam rutinitasnya. Apa sebenarnya maksud dari semua ini?” .
Ya, aku lelah. Aku ingin berhenti sejenak dari pikiranku. Pernah aku mencoba menelusuri, saat-saat sebelum kelahiranku. Apakah aku dapat dibilang ada pada saat itu? Dimanakah aku pada saat itu? Dan kini, seberapa ada-kah aku? Dan jika aku telah mati, apa yang akan terjadi? Apakah aku masih ada? Ataukah benar-benar tiada, seperti debu yang tertiup angin. Kalau memang begitu, lebih baik aku tidak pernah ada. Tetapi aku ada, hari ini. Lorong tak berujung.
Pertanyaan sebelum, dan sesudah keberadaanku. Aku menyerah. Aku percaya pada Tuhan. Aku pasrah. Aku percaya pada Tuhan. Aku pasrah, tentang adanya rahasia. Aku pasrah, bahwa sebelum dan sesudah itu ada dalam genggaman rahasia. Tidak ada seorang manusiapun yang dapat menolongku, karena mereka semua sama seperti aku. Aku akan mengikuti jalan Tuhan. Dan demikianlah aku kini. Aku mencoba menjalani jalan yang sudah digariskan Tuhan. Itu terjadi sejak bertahun-tahun yang lalu , sudah lebih dari 6 tahun. Dan sejak itu pula, aku tidak lagi sendirian, memang aku mempunyai harapan. Dan harapan itu pula yang selalu diucapkan olehku kepada Tuhan.
Dan, sejak bertahun-tahun pula, aku mencoba untuk mulai berubah. “Aku sekarang sudah tidak sendiri lagi dalam berjalan di kehidupan ini. Tetapi kini, aku mempunyai bayangan . Dan bayangan itu adalah anak anakku sendiri. Dia yang selalu mengikuti dan mengiringi langkahku dengan do’a nya. Mengingatkanku dikala tergoda mimpi dengan senyuman khasnya, membuyarkan khayalanku dengan candanya ,”. “Aku mulai terkena sinaran cahaya, dan kesegaran ruhani menerobos nuraniku. Rasa tanggung jawabku mengusikku dan membangkitkan sedikit semangatku. Perlahan aku sudah mulai terjebak dan masuk ke dalam gerbang tuk menemui jawabannya walau masih samar.”
Memang, Istri dan anak-anakku adalah bayangan bayangan yang tiada pernah bosan mengiringi setiap langkah kakiku. Aku kini sudah mulai terbiasa dengan perasaan itu. Walau kadang ada kejenganhan dengan bayangan bayangan yang tiada bosan mengikutiku . Seperti tiada ruang yang tersedia untukku tuk berlari dan meninggalkan bayangan itu sedetik saja.
Betul dengan kehadiran bayangan itu , ruang sempit kesendirianku menjadi semakin luas, dan bahkan menjadi begitu luas. Setiap saat, bayangan itu muncul dan selalu muncul dalam diri orang-orang dan segala sesuatu yang kutemui. Aku menjadi seorang penyendiri yang tidak sendiri. Segala sesuatu memiliki makna. Dan sebuah makna makna yang sedikit sulit untuk kupahami, kadang aku merasa bangga , kadang merasa senang setiap kali mengakhiri rutinitasku dan kembali kerumahku aku mendapat hadiah senyuman dan pelukan hangat dari anak dan Istriku .
Aku merasa senang kepenatanku bekerja seharian hilang hanya dengan sebuah pelukan hanya setelah melihat anak anakku tersenyum dalam tidurnya , apakah ini yang disebut kebahagiaanku kini. Realitas tidak lagi sekedar realita. Realita bukanlah apa yang kulihat apa adanya. Realita sejati adalah apa yang harus bisa kulihat , kurasakan , kucerna dan kunikmati dalam kehidupanku dibalik realita. “Ya, orang bijak pernah berbicara dunia ini bagaikan mimpi.
Kini aku sedang bermimpi. Mimpi yang tampak sangat nyata. Mataku tidak hanya sepasang melainkan lebih.”
Dan, waktu terus berjalan. Waktuku mungkin tidak akan lama lagi. Aku tidak peduli. Yang kupedulikan adalah apa yang kujalani hari ini. Sudahkah kulakukan yang terbaik?
“Kita hanya hidup sekali.” Begitu yang sering kudengar dari mulut orang-orang.
“Kenapa kita tidak menikmati saja hidup ini? Mari kita bersenang-senang!” kata mereka kemudian.
“ Bersenang senang yang seperti apa?” kataku, “Seperti berkumpul dalam pesta, minum minuman sampai mabuk , sambil berjoget dan bernyanyi nyanyi… ? , Tertawa bersama sambil menikmati penderitaan atau kebodohan orang lain...? ”
“Ya, nikmatilah dunia,” jawab mereka lagi.
“ Tetapi, dimana letak kebahagiaannya? Aku tidak merasa bahagia dengan itu, ” teriakku, “ itu hanya melarikan diri hanya untuk sekedar mendapat perasaan lupa, lupa sejenak dengan penat dunia ke-esokannya menghampiri lagi,..... itu bukanlah sebuah kebahagiaan untukku.”
“Lalu, apa kebahagiaan itu menurutmu?” tanya mereka lagi.
“ Aku juga belum tahu apa itu kebahagiaan , yang aku tahu aku merasa senang dengan keadaanku saat ini, aku menikmati perjalanan kehidupaku ini. Aku begitu tenang saat aku dapat memandang wajah orang-orang yang aku kasihi. Dan sebelum, saat dan sesudahnya kau juga bisa melihat wajah pengasih itu , wajah wajah yang membuatmu sadar bahwa engkau sedang bermimpi, dan membuatmu bangun dari mimpimu dan wajah wajah yang membuatmu melihat masalah dunia laksana setitik debu yang tertiup angin, yang selalu mengingatkanmu dari kesalahan kesalahan , yang selalu mengiringi perjalan kehidupanmu dengan do’a dan pengharapan . Wajah wajah yang tiada pernah lelah memberikan senyuman yang menyegarkan dan menghapuskan kelelahanmu ” kataku.
“Ya, tetapi itu juga hanya sekejap,” kata mereka lagi.
“Ya memang. Tetapi sekali engkau mencicipi setetes madu, kau akan selalu mengenang manisnya tatkala mencicip jutaan tetes empedu. Kau tidak akan pernah lupa dan selalu merindukannya.”
Mereka terdiam dan pergi. Sejenak aku teringat sebuah nasihat dari orang bijak. Ditengah kegundahan hati, aku harus mampu memberikan senyuman yang termanis sekalipun untuk orang yang paling saya tidak sukai. Aku harus mampu memberikan senyuman yang termanis sekalipun orang itu orang yang selama ini membenciku.
Sesungguhnya kebencian dan kecintaan kita terhadap seseorang adalah satu ruang yang berbeda tempat. Bila Wajah kebencian juga wajah kecintaan. Wajah kecintaan juga wajah kebencian.
Aku harus ingat orang lain membenciku karena mereka sayang padaku, mereka tidak suka akan tingkah lakuku yang jelek sehingga mereka jadi benci, jadi, untuk apa aku membenci mereka karena sebenarnya mereka itu mencintaiku ,.. ?
Mungkin dengan Senyum. Itulah yang diajarkan Orang bijak tentang gambaran kebahagiaan kepadaku. Tersenyum selalu, membuat orang lain tersenyum itulah tanda bahwa aku bahagia. Orang senantiasa melihatku tersenyum. Aku senantiasa ingin tersenyum. Melihat semuanya dengan cinta dan kasih. Kenapa tidak saya berikan senyuman yang termanis yang anda miliki untuk semua orang. Orang yang saya cintai maupun yang orang yang anda benci, sebab senyuman itu akan melepaskan sekat-sekat kebencian dan kecintaan. Senyuman akan meluluhkan hati yang keras bagai batu. Senyuman juga yang menyelamatkan diri kita dari segala mara bahaya.
“ Tuhan itu maha pengasih ?Senyum itu ibadah, jadi bukan hal aneh jika aku selalu tersenyum. Aku hanya ingin mencontoh yang maha pengasih.”
Memang rasa duka senantiasa hinggap tatkala aku merasa tidak puas.
“Anak-anakku adalah beban,” ujarku dalam hatiku suatu kali, saat penat memuncak.
Tapi nuraniku berontak “Tidak, mereka adalah teman. Jadikan mereka temanmu. Teman bermain, teman menumpahkan pandangan saat layu. Teman untuk berbagi rasa.
Aku akui mungkin sering tersenyum untuk orang lain, dan entah kenapa senyumku yang termahal adalah untuk keluargaku. Memang aku masih tetap sering tersenyum buat anak anakku, tetapi senyumku pada anak-anakku saat mereka merajuk, itulah senyum kepasrahanku. Dan saat mereka membalas senyumanku, itulah saat aku merasa ada kebahagiaanku. Aku juga inginkan senyum mereka, yang tak lepas sampai aku tua renta.
Ah, waktu semakin menipis. Kisah sederhana ini mungkin akan segera berakhir. Mungkinkah aku bernegosiasi dengan sang waktu? Bagaimana sebuah kesederhanaan dan rutinitas ini mengantarkan aku pada kebahagiaan?
“Omong kosong!” kata mereka yang mendengarkan.
“Ya, mungkin menurut perkiraanmu, itu semua hanya omong kosong, karena engkau belum mengalami apa fase fase seperti apa yang telah aku alami, kalian masih dalam pengembaraan yang sendirian , belum mempunyai sepenggal kalimat tanggung jawab yang bernama ' keluarga ' ” kataku.
Aku harus membiarkan terjadi, apa yang seharusnya terjadi. Apakah Anak-anakku akan seperti Bima yang perkasa , tabah dalam penderitannya dan selalu menepati janjinya, atau menjadi Arjuna yang pongah dengan ketampanannya . Biarlah mereka seperti kupu kupu yang indah, mereka akan bermetamorfosis, melalui ulat, kepompong dan akan menjadi kupu-kupu. Karena akupun juga begitu , dari belajar duduk , merangkak , berdiri dan berlari , selalu ada saat datang dan ada saat pergi.Biarkanlah, apa yang seharusnya terjadi. Dan aku akan menjadi sesuai apa yang seharusnya terjadi dan kujalani di dalam dunia kehidupanku.
Dan timbulah pertanyaan baru siapa aku ini sebenarnya ,...?Kenapa aku merasa tidak ada sesuatupun yang lebih dekat denganku ,......? Istriku yang sekian lama menemaniku tidak selalu bisa mengenaliku,.. kebiasaanku apalagi apa apa yang ada dipikiranku.Ingin sekali aku memahami diriku sendiri,
Teringat nasehat dari sahabat “ jika kau tidak memahami dirimu, bagaimana kau bisa memahami orang lain?
Kau mungkin berpikir , “ aku pasti sudah memahami diriku sendiri ”.
Tetapi kau salah!…Satu-satunya yang ku ketahui tentang diriku hanyalah penampilan fisikku. Satu-satunya yang ku ketahui tentang ‘nafs’ku (jiwa) adalah ketika aku merasa lapar maka aku pergi mencari makanan , ketika aku marah , aku mencari pelampiasan dan membuat keributan, dan ketika aku termakan bara nafsu birahi aku mencari istriku dan mengajaknya bercinta.

Tapi bukankah semua binatang memiliki kesamaan dengan diriku dalam hal ini ...?Aku harus mencari kebenaran di dalam diriku… Siapa diriku? Darimana datangnya diriku dan akan kemana aku akan pergi? Apa perananmu bagi keluargaku di dunia ini ? Kenapa aku diciptakan? Dimana kebahagiaanku berada? Banyak orang berbicara , kebenaran akan eksistensimu ada di dalam jiwamu. Tubuhmu itu hanyalah pengabdi bagi jiwamu Jika kau ingin mengetahui tentang dirimu, kau harus mengetahui bahwa di dalam tubuhmu ada Nafsu, Qolbu dan Akal . Jiwamu adalah bagian yang tidak bisa kau lihat tetapi bisa kau ketahui dengan pengetahuanmu yang dalam. Jiwa kita akan bagus jika antara nafsu , qolbu dan Akal seimbang. Keseimbangan jiwa karena sedikit dosa, keseimbangan tubuh karena sedikit makan.Aku semakin bingung dan terjebak dalam angan . Aku tak mau berlari lagi. Aku hanya tahu waktu berakhirku akan tiba tanpa disangka-sangka. Dan aku tidak akan dapat bersembunyi. Biarlah aku tetap berlari dalam pencarianku . Biarlah kuteruskan cerita pencarianku tentang diri ini sebagai kisah seorang penyendiri di saat sesudah kisahku berakhir di dunia ini.




Tunjung tanpa selaga .......
Siapa diri ini dan apa yang sedang dicari ....
Diri ini hanyalah insan tak berguna ....
Tunjung tanpa selaga ......
Itu hanya sebuah nama untuk mengetahui siapa diri ini ...
diri ini hanyalah berusaha untuk bisa bermanfaat bagi orang lain ...
Tunjung tanpa selaga ..... semoga menjadi jati diri ,...
dalam perjalanan kehidupan ini pelita hati tidaklah boleh mati ...
pendakian Haramil qudsiyah haruslah tidak boleh terhenti ....
Dimana kawanku yang akan memberikan tongkat disaat sudah tidak sanggup berdiri ...
Andikakah yang akan membimbing diri ini dalam pendakian haramil Qudsiyah sejati .

Tunjung tanpa selaga, August 2008

Kamis, 04 September 2008

Paku di Tiang

Paku di Tiang


Beberapa waktu yang silam, ada seorang ikhwah yang mempunyai seorang anak lelaki. semakin hari dia makin besar , tapi sayang dia menjadi seorang yang lalai menunaikan seruan agama. Meskipun telah banyak berbuih ajakan dan nasihat, seruan dan perintah dari orang tuanya agar dia bersembahyang, puasa, zakat dan lain-lain, dia tetap meninggalkannya. Sebaliknya amal kejahatan pula yang menjadi rutinitasnya.

Suatu hari seorang ikhwah tersebut memanggil anaknya dan berkata, "Nak, kau ini sudah besar tetapi kenapa engkau masih saja lalai dan terlalu banyak berbuat kemungkaran. Mulai hari ini aku akan tancapkan satu paku ke tiang di tengah halaman rumah kita. Setiap kali kau berbuat satu kejahatan, maka aku akan tancapkan satu paku ke tiang ini. Dan setiap kali kau berbuat satu kebajikan, sebatang paku akan kucabut keluar dari tiang ini".
Dan mulai hari itu juga , Ayahnya berbuat seperti mana yang dia janjikan, setiap hari dia akan memasang beberapa batang paku ke tiang tersebut. Kadang-kadang sampai berpuluh paku dalam satu hari. Jarang-jarang benar dia mencabut keluar paku dari tiang. Hari silih berganti, beberapa purnama berlalu, dari musim hujan berganti kemarau panjang. Tahun demi tahun beredar.

Tiang yang berdiri megah di halaman kini telah hampir dipenuhi dengan tusukan paku-paku dari bawah sampai ke atas. Hampir setiap permukaan tiang itu dipenuhi dengan paku-paku. Ada yang berkarat karena hujan dan panas. Setelah melihat keadaan tiang yang bersusukan dengan paku-paku yang kotor dan berkarat tersebut, timbullah rasa malu. Maka dia pun beniat untuk memperbaiki dirinya.

Mulai detik itu, dia mulai sembahyang. Hari itu saja lima butir paku dicabut ayahnya dari tiang. Besoknya sembahyang lagi ditambah dengan sunnah-sunnahnya. Lebih banyak lagi paku tercabut. Hari hari berikutnya dia sudah mulai bisa tinggalkan maksiat yang sering dia lakukan . Maka semakin banyaklah tercabut paku-paku tadi. Hari demi hari, semakin banyak kebaikan yang dia lakukan dan semakin banyak maksiat yang ia tinggalkan, hingga akhirnya hanya tinggal sebatang paku yang tinggal melekat di tiang.

Maka ayahnya pun memanggil anaknya dan berkata, "Lihatlah anakku, ini paku terakhir, dan aku akan mencabutnya sekarang. Tidakkah kamu gembira?"

Anak muda tersebut merenung sambil menatap tiang tersebut, dia mulai menangis isak-isak.

"Kenapa anakku?" tanya ayahnya, "Aku menyangka kau gembira karena semua paku-paku tadi telah tiada".

Dalam nada yang sedih dan penuh penyesalan dia berkata , "Wahai ayahku, sungguh benar katamu, paku-paku itu telah tiada, tapi aku bersedih lubang-lubang dari paku itu tetap ada ditiang, bersama dengan karatnya".

Sesuatu yang dimuliakan, dengan dosa-dosa dan kemungkaran yang seringkali diulangi hingga akan menjadi suatu kebiasaan, dan kita mungkin bisa mengatasinya atau secara berangsur-angsur kita dapat menghapuskannya, tetapi ingatlah bahwa bekas yang ia tinggalkanya tidak akan hilang.

Dari situ, bilamana kita merenungi untuk melakukan suatu kemungkaran, ataupun sedang berniat melakukan kemungkaran, maka berhentilah. Karena setiap kali kita bergelimang dalam kemungkaran, maka kita telah membenamkan sebilah paku lagi yang akan meninggalkan bekas lubang pada jiwa kita, meskipun paku itu kita cabut kemudiannya.

Apa lagi kalau kita biarkan sampai berkarat dalam diri ini sebelum dicabut. Lebih-lebih lagilah kalau dibiarkan berkarat dan tak dicabut.

Mengejar Kupu-kupu

Mengejar Kupu-kupu .

Suatu ketika, terdapat seorang pemuda di tepian telaga. Ia tampak termenung.
Tatapan matanya kosong, menatap hamparan air di depannya. Seluruh penjuru mata angin telah di lewatinya, namun tak ada satupun titik yang membuatnya puas.
Kekosongan makin senyap, sampai ada suara yang menyapanya. Ada orang lain disana.
"Sedang apa kau disini anak muda?" tanya seseorang.
Rupanya ada seorang kakek tua. "Apa yang kau risaukan..?"
Anak muda itu menoleh ke samping, "Aku lelah Pak Tua. Telah berkilo-kilo jarak yang kutempuh untuk mencari kebahagiaan, namun tak juga kutemukan rasa itu dalam diriku. Aku telah berlari melewati gunung dan lembah, tapi tak ada tanda kebahagiaan yang hadir dalam diriku. Kemanakah aku harus mencarinya? Bisakah kutemukan rasa itu?"
Kakek Tua duduk semakin dekat, mendengarkan dengan penuh perhatian.
Di pandangnya wajah lelah di depannya.
Lalu, ia mulai bicara, "Di depan sana, ada sebuah taman. Jika kamu ingin jawaban dari pertanyaanmu, tangkaplah seekor kupu-kupu buatku ”.
Mereka berpandangan.
"Ya...tangkaplah seekor kupu- kupu buatku dengan tanganmu" sang Kakek mengulang kalimatnya lagi.
Perlahan pemuda itu bangkit. Langkahnya menuju satu arah, taman. Tak berapa lama, dijumpainya taman itu.
Taman yang yang semarak dengan pohon dan bunga- bunga yang bermekaran. Tak heran, banyak kupu-kupu yang berterbangan disana.
Sang kakek, melihat dari kejauhan, memperhatikan tingkah yang diperbuat pemuda yang sedang gelisah itu. Anak muda itu mulai bergerak.
Dengan mengendap-endap, ditujunya sebuah sasaran. Perlahan. Namun, Hap! sasaran itu luput. Di kejarnya kupu-kupu itu ke arah lain. Ia tak mau kehilangan buruan.
Namun lagi-lagi. Hap!. Ia gagal. Ia mulai berlari tak beraturan. Diterjangnya sana-sini. Ditabraknya rerumputan dan tanaman untuk mendapatkan kupu-kupu itu.
Diterobosnya semak dan perdu di sana. Gerakannya semakin liar. Adegan itu terus berlangsung, namun belum ada satu kupu-kupu yang dapat ditangkap.
Sang pemuda mulai kelelahan. Nafasnya memburu, dadanya bergerak naik-turun dengan cepat.
Sampai akhirnya ada teriakan, "Hentikan dulu anak muda. Istirahatlah."
Tampak sang Kakek yang berjalan perlahan. Ada sekumpulan kupu-kupu yang berterbangan di sisi kanan-kiri kakek itu. Mereka terbang berkeliling, sesekali hinggap di tubuh tua itu.
"Begitukah caramu mengejar kebahagiaan? Berlari dan menerjang? Menabrak nabrak tak tentu arah, menerobos tanpa peduli apa yang kau rusak?" Sang Kakek menatap pemuda itu.
"Nak, mencari kebahagiaan itu seperti menangkap kupu-kupu. Semakin kau terjang, semakin ia akan menghindar. Semakin kau buru, semakin pula ia pergi dari dirimu.Namun, tangkaplah kupu-kupu itu dalam hatimu. Karena kebahagiaan itu bukan benda yang dapat kau genggam, atau sesuatu yang dapat kau simpan. Carilah kebahagiaan itu dalam hatimu. Telusuri rasa itu dalam kalbumu. Ia tak akan lari kemana-mana. Bahkan, tanpa kau sadari kebahagiaan itu sering datang sendiri."
Kakek Tua itu mengangkat tangannya. Hap, tiba-tiba,tampak seekor kupu-kupu yang hinggap di ujung jari. Terlihat kepak-kepak sayap kupu-kupu itu, memancarkan keindahan ciptaan Tuhan. Pesonanya begitu mengagumkan, kelopak sayap yang mengalun perlahan, layaknya kebahagiaan yang hadir dalam hati. Warnanya begitu indah, seindah kebahagiaan bagi mereka yang mampu menyelaminya.

*** Mencari kebahagiaan adalah layaknya menangkap kupu-kupu. Sulit, bagi mereka yang terlalu bernafsu, namun mudah, bagi mereka yang tahu apa yang mereka cari. Kita mungkin dapat mencarinya dengan menerjang sana-sini, menabrak sana-sini, atau menerobos sana-sini untuk mendapatkannya. Kita dapat saja mengejarnya dengan berlari kencang, ke seluruh penjuru arah. Kita pun dapat meraihnya dengan bernafsu, seperti menangkap buruan yang dapat kita santap setelah mendapatkannya.
Namun kita belajar. Kita belajar bahwa kebahagiaan tak bisa di dapat dengan cara-cara seperti itu. Kita belajar bahwa bahagia bukanlah sesuatu yang dapat di genggam atau benda yang dapat disimpan. Bahagia adalah udara, dan kebahagiaan adalah aroma dari udara itu. Kita belajar bahwa bahagia itu memang ada dalam hati. Semakin kita mengejarnya, semakin pula kebahagiaan itu akan pergi dari kita. Semakin kita berusaha meraihnya, semakin pula kebahagiaan itu akan menjauh.
Cobalah temukan kebahagiaan itu dalam hatimu. Biarkanlah rasa itu menetap, dan abadi dalam hati kita. Temukanlah kebahagiaan itu dalam setiap langkah yang kita lakukan. Dalam bekerja, dalam belajar, dalam menjalani hidup kita. Dalam sedih, dalam gembira, dalam sunyi dan dalam riuh. Temukanlah bahagia itu, dengan perlahan, dalam tenang, dalam ketulusan hati kita.
Saya percaya, bahagia itu ada dimana-mana. Rasa itu ada di sekitar kita. Bahkan mungkin, bahagia itu "hinggap" di hati kita, namun kita tak pernah memperdulikannya. Mungkin juga, bahagia itu berterbangan di sekeliling kita, namun kita terlalu acuh untuk menikmatinya.

Rabu, 03 September 2008

KONTEMPLASI NUSANTARA RAYA





KONTEMPLASI NUSANTARA RAYA

Apakah kita semua lupa?
Apakah kita semua lalai?
Apakah memang kita semua tidak mau tahu?
Ketika ekonomi dan politik menjadi taghut-taghut yang kita sembah,
Ketika intelektualitas dan logika menjadi sesembahan kita,
Ketika kehidupan hedonistis menjadi berhala kita,
Bahkan, ketika agama dan syari’at pun kita jadikan Tuhan,
Nampaknya,
Kita semua lupa,
Kita semua lalai,
Atau bahkan sebenarnya kita semua munafik,
Diam-diam…,
Syirik musyrik telah membius diri,
Bid’ah dan sesat telah merasuk dalam darah,...

Pantas…
Jika Allah menurunkan azab-Nya,
Sangat pantas…
Jika Allah dengan kasih-Nya memberikan pelajaran,
“Asyhadu ala ilaha ilallah, wa asyhadu ana Muhammaddan rasulullah,
Innalillahi wa inna ilaihi roji’un,
La hawla wala quwata ila bilahil aliyul adzhim,”

Patut kita akui,
Nyatanya kita memang terlupa,
Hanya sorga menjadi tujuan kita,
Hanya rizqi menjadi dambaan kita,
Nyatanya kita memang terlupa,
Sesungguhnya Allah lah pencipta sorga dan rizqi,
Semestinya…,
“Ilahi anta maqsudi wa ridhoka mathlubi,
Allah adalah tujuanku dan ridho Allah yang kucari,”

Semestinya…,
Dengan syari’at, kita mengenal toriqoh (jalan menuju Allah),
Dengan toriqoh, kita mengenal hakekat,
Dengan hakekat, kita berma’rifat (mengenal Allah),

Semestinya…,
Agama dan syari’at bukan sarana menghakimi sesama,
“Inna robbi latifu limayasan, innahu wa alimul hakim,”
Nampaknya,
Kita tidak mau tahu akan ayat-ayat-Nya,
Kita tidak mau membaca tanda-tanda-Nya,
Kita tahu.., tapi sengaja berselingkuh,

Apakah kita tahu?
Ketika Adam Air jatuh dan raib,
Itulah tandanya bahwa hati dan bathin (adam) kita sirna,
Apakah kita tahu?
Ketika Senopati Nusantara tenggelam tak berbekas,
Itulah tandanya bahwa musnahnya jiwa kepemimpinan nusantara,
Apakah kita tahu?
Ketika Garuda jatuh terbakar,
Itulah tandanya bahwa Pancasila telah tumbang di negeri ini,

Apakah kita tahu?
Ketika bencana bersahutan menerpa bumi ini,
Itulah tandanya bahwa pasukan sapu jagad (sirrullah) tengah bersiap,
Melibas orang-orang ingkar dan munafik,

Apakah kita tahu?
Ketika semburan lumpur Porong tak jua usai,
Itulah tandanya bahwa “seseorang” tengah dinanti,
Aulia pilihan dan kekasih Allah,
Sang Satria Pinandhita Sinisihan Wahyu,
Siapa lagi kalau bukan Sang Pamomong Nuswantoro,
Telah terlihat Parikesit dibawah asuhan Abiyasa,

Tak lama lagi,
Akan datang Gajah Mada muda,
Dengan ruh Bhinneka Tunggal Ika,
Kokoh berpijak laksana Garuda Kencana,
Dengan menghunus Naga Runting,
Kembali bersumpah, mengucap Hamukti Palapa,
“Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa,”
Berdua datang bak Musa dan Harun,
Itulah Sabdo Palon dan Noyo Genggong.
Jayalah Negeriku,
Tegaklah Garudaku,
Jayalah Nusantaraku…
Nusantara , diawal 2008